Oleh Tatang Sunendar
Lazimnya kepala sekolah gembira jika siswa yang menjadi binaannya meraih kejuaraan dalam satu turnamen, namun berbeda dengan Bapak Bujang yang merasa malu saat pembina OSIS dan siswa datang membawa piala untuk diserahkan kesekolah. Pak Bujang hanya berujar aduh nak, nak bapak ini malu sebenarnya malu atas prestasi yang kalian raih. Mendengar ucapan Pa Bujang tersebut semua diam dan tidak memahami apa yang disampaiknya.
Pak Bujang ini adalah kepala sekolah yang baru satu tahun menjadi kepala sekolah, sekolahnya terkenal selalu meraih kejuaran baik olah raga, kesenian maupun yang lainnya. Saya yang sedang di lokasi heran dan memberanikan bertanya sambil bercanda, “Kenapa bapak malu saat siswa siswi bapak meraih prestasi?” Jawabannya sungguh mengagetkan, “Kami tidak bangga meraih kejuaraan karena ini bukan hasil jerih payah kami, namun kami hanya menikmatinya saja.”
Lebih lajut Pak Bujang menguraikan bahwa pajangan piala yang berjejer dengan rapih dari berbagai level kejuaraan ini yang diraih oleh siswa siswanya bukan merupakan hasil jerih payah guru-guru membimbing dan melatih dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari tidak terampil menjadi terampil, melainkan semuanya mengandalkan pelatih dari luar yang didatangkan ke sekolah atau anak anak masuk klub olah raga maupun kelompok sanggar kesenian, demikian imbuhnya. Sungguh suatu pengakuan yang luara biasa dan saya baru menemukan kepala sekolah model Pak Bujang.
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membimbing, mendukung, dan memotivasi siswa untuk mencapai prestasi terbaik mereka. Prestasi siswa seharusnya menjadi kebanggaan bagi seluruh komunitas sekolah. Namun, terkadang, ada situasi di mana kepala sekolah mungkin merasa malu karena prestasi yang diperoleh bukan murni hasil jerih payah yang diperoleh di bangku sekolah dengan menggoptimalkan guru-gurunya. Sebagai pemimpin utama di sekolah, kepala sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan iklim yang mendukung pertumbuhan akademis dan non-akademis siswa. Kepala sekolah seharusnya merasa bangga dan terinspirasi oleh pencapaian siswanya sebagai hasil dari upaya keras dan dedikasi mereka.
Adalah pusat prestasi nasional (Puspresnas) merupakan sebuah unit organisasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bidang pengembangan prestasi nasional yang mengemban tugas untuk mencari, mewadahi/mengumpulkan, mengatur, mendorong, dan mengembangkan bakat, minat, serta potensi generasi emas Indonesia untuk mencapai puncak prestasi tertinggi dalam berinovasi dan berkreativitas di bidang: Sains, Teknologi, Seni/Bahasa/Literasi, Olahraga, Vokasi dan Kewirausahaan, melalui kompetisi, lomba, festival dan apresiasi. Puspresnas juga menjadi pelopor pengembangan asas gotong royong yang akan diimplementasikan dalam strategi kemitraan dengan para pemangku kepentingan (Pemerintah, Entitas Bisnis, Komunitas, Akademisi, dan Media) guna mencapai misi Manajemen Talenta Nasional.
Tujuan dari Puspresna adalah membangun bakat dan prestasi anak-anak Indonesia menjadi barisan kekuatan yang tangguh untuk Indonesia Cerdas, Adil dan Makmur. Mewadahi dan memfasilitasi generasi emas Indonesia untuk mencapai puncak prestasi tertinggi dalam berinovasi dan berkreativitas di bidang: Sains, Teknologi, Seni/Bahasa/Literasi, Olahraga, Vokasi dan Kewirausahaan, Memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menunjukkan bakat dan prestasinya secara maksimal untuk mengikuti berbagai macam kompetisi dan Festival baik ditingkat lokal, nasional ataupun Internasional. Memfasilitasi Peserta didik untuk mendapatkan apresiasi yang layak, yang memungkinkan prestasi mereka berkelanjutan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Adanya Puspresnas merupakan suatu tantangan bagi sekolah untuk melahirkan dan menyalurkan siswa-siswa yang berbakat agar mampu meraih prestasi optimal, untuk meraih hasil yang optimal dibutuhkan proses yang panjang dan penanganan yang serius. Oleh karena itu tidak semua sekolah mampu melahirkan siswa yang berprestasi. Berbeda dengan yang dilakukan tahun 90-an kita mengenal sekolah IPOR (Induk pengembangan olah raga) untuk olah raga dan Sekolah IPK (Induk pengembangan kesenian) serta sekolah atlet Ragunan yang fokus menyiapkan atlet-atlet handal.
Kembali ke perasaan malu yang dilontarkan oleh pak Bujang nampaknya merupakan suatu bentuk refleksi atau outokririk bagi lingkungan sekolahnya untuk melecut guru-gurunya agar tidak terlalu mengandalkan tenaga ahli/pelatih dari luar melainkan berkolaborasi dengan pelatih pelatih sehingga saat proses belajar mengajar menjadi lebih optimal. Namun harus juga disadari bahwa sekolah tidak dirancang untuk melahirkan siswa yang unggul dalam olah raga maupun kesenian serta yang lainnya, namun dirancang untuk menemukan potensi yang dimiliki oleh siswa siswa. Jika potensi itu sudah ditemukan maka untuk selanjutnya sekolah bisa berkolaborasi dengan siapapun, tapi fakta menunjukkan jika menyaksikan siswa belajar olah raga tidak sedikit siswa dibiarkan beraktivitas sendiri, lari mengelilingi lapangan, bermain sesukanya sedangkan gurunya hanya duduk di tepi lapang.
Prestasi siswa seharusnya tidak menjadi beban bagi kepala sekolah, melainkan sebagai cermin dari upaya dan dedikasi yang ditanamkan oleh seluruh komponen sekolah. Melalui refleksi, tindakan positif, dan kolaborasi, kepala sekolah dapat membawa perubahan yang positif dalam kualitas pendidikan di sekolah mereka. Dengan mengubah perspektif dari perasaan malu menjadi kesempatan untuk perbaikan, kepala sekolah dapat memainkan peran yang lebih efektif dalam membimbing siswa menuju kesuksesan sebagaimana yang diharapkan…semoga…